Baduy

Baduy
suku baduy dalam, Banten

Sabtu, 05 Desember 2009

PLTA Koto Panjang, Proyek Siluman


Pembangunan PLTA Kotopanjang adalah bentuk penjajahan gaya baru JEPANG kepada INDONESIA. Kebutuhan energi listrrik dan potensi alam yang mendukung menjadi alasan utama jeratan utang bangsa Jepang kepada Indonesia sebesar 31,177 milyar yen, utang haram pembawa bencana yang tak pernah diinginkan masyarakat 10 desa.

Tahun 1979, TEPSCO (Tokyo Electric Power Servis Co.ltd) melakukan project finding di Sumatera. Dari hasil survey TEPSCO mengusulkan kepada pemerintah Indonesia agar membangun bendungan skala besar untuk PLTA, yakni dengan memanfaatkan pertemuan antara Sungai Kampar Kanan dengan Batang (baca: sungai) Mahat.

Kemudian JICA (Japan International Cooperation Agency) mulai melakukan Studi Kelayakan Teknis dan Ekonomi pada tahun 1983 yang kemudian dilanjutkan dengan Studi Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) bendungan Kotopanjang pada tahun 1984 oleh Universitas Andalas dan pada 1988 dilakukan Studi Penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dilaksanakan oleh konsultan TEPSCO yang bekerjasama dengan Pusat Penelitian Universitas Riau. Setelah itu, dimulailah pembangunan fisik proyek pada tahun 1993 dan diresmikan pada tahun 28 Februari 1997.

Pembangunan PLTA Kotopanjang yang akan menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya memang sudah terpikirkan oleh pemerintah Indonesia. Untuk meminimalisir dampak–dampak negatif tersebut, maka pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang sebagai negara yang memberikan Pinjaman untuk pembangunan menyepakati beberapa hal. Pertama, Gajah, Harimau, Tapir, dan satwa yang dilindungi lainnya, yang bermukim di lokasi harus diselamatkan dengan memindahkannya ke tempat perlindungan yang cocok. Kedua, tingkat kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak dari proyek PLTA Kotopanjang harus menjadi lebih baik dari kehidupan di tempat lama. Ketiga, persetujuan pemindahan bagi yang terkena dampak proyek adalah tanpa paksa dan prosesnya harus dilakukan secara adil dan merata. Namun, hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, bahkan tindak kekerasan TNI AD kental sekali selama proses pemindahan masyarakat.

Dampak lain yang harus diterima sebagai konsekuensi pembangunan sebuah Dam berskala besar adalah jalan negara sepanjang 25,3 km dan jalan propinsi sepanjang 27,2 km harus ditenggelamkan begitu juga dengan 2.6444 rumah, 8.989 ha sawah.

Secara geografis, desa-desa yang terkena dampak dari pembangunan Dam Kotopanjang ada 10 desa. Delapan di antaranya berada di propinsi Riau, Kabupaten Kampar, Kecamatan XIII Koto Kampar, sedangkan yang dua lagi berada di propinsi Sumatera Barat. Akibat adanya proses otonomi daerah, delapan desa yang ada di propinsi Riau tersebut mengalami pemekaran sehingga sekarang menjadi tiga belas desa.

Sepuluh desa tersebut mengalami pemindahan ke lokasi baru yang terdapat di sekitar kawasan Dam Kotopanjang dengan perjanjian masyarakat akan disediakan rumah semi permanen lengkap dengan fasilitas air bersih, kebun karet siap panen masing-masing kepala keluarga 2 hektar, ladang untuk palawija seperempat hektar, listrik, sarana dan prasarana umum lainnya, seperti rumah ibadah, jalan, jembatan, dan jaminan hidup selama dua tahun.

Namun, semuanya itu tidak dilaksanakan pemerintah sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian pemindahan. Masyarakat hanya menerima rumah kayu selebar 6m X 5m dengan atap Asbes, tidak ada listrik, tidak ada fasilitas air bersih, kebun karet belum tersedia sarana dan prasarana umum, seperti jalan hanya sebagian kecil yang diaspal, jembatan tidak dibangun untuk Desa Balung. Masjid yang dibangun salah kiblat sedangkan lahan pertanian yang tersedia tidak subur dan berbatu.

Hal ini mendapat reaksi perlawanan dari masyarakat, namun masyarakat tidak bisa berbuat banyak untuk merubah kondisi ini dikarenakan pemerintah menolak bertanggung jawab. Kondisi di atas mengakibatkan Desa Balung dan Desa Pongkai Baru menjadi terisolir, karena tidak ada akses transportasi ditambah lagi letak desa yang jauh dan tertutup.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, akibat tidak ada alternatif mata pencaharian lain, sebagian besar masyarakat melakukan kegiatan pembalakan haram di kawasan resapan air Dam Kotopanjang, sebagian lagi memilih menjadi buruh kebun di daerah lain.

Pembalakan haram bukan saja dilakukan oleh masyarakat setempat, pihak luar pun melakukan hal yang sama dan dibiayai oleh cukong-cukong kayu. Kondisi ini sangat mengancam fungsi ekologis kawasan yang salah satunya diharapkan mampu menjadi pengendali banjir.

Ketidaksejahteraan masyarakat setelah dipindahkan, membawa perubahan dalam kehidupan sosial-budaya. Mereka yang dulu memegang teguh adat istiadat, mempunyai sifat sosial yang tinggi, namun sekarang menjadi masyarakat yang sangat individualis dan tidak berbudaya.

Banyak anak–anak yang tidak bersekolah dan harus bekerja membantu orang tua, baik untuk mencari kayu maupun menjadi buruh kebun. Bagi sebagian orang tua yang mempunyai anak perempuan terpaksa menikahkan anaknya dalam kondisi di bawah umur dengan tujuan mengurangi beban hidup dan hal ini terjadi di desa Pongkai Baru.

Satwa liar yang dilindungi, seperti gajah dan harimau, sering masuk ke desa–desa, karena tidak ada proses pemindahan satwa tersebut pada saat pembangunan Dam Kotopanjang dan terganggunya habitat satwa tersebut akibat kerusakan fungsi ekologis kawasan Dam Kotopanjang. Sampai saat ini, hampir tidak ada perhatian yang diberikan pemerintah untuk membuat kondisi menjadi lebih baik.

Bahkan, setelah 8 tahun beroperasi, PLTA Kotopanjang hanya mampu mengoperasikan satu buah turbin dengan produksi energi listrik maksimal hanya sebesar 23 MW dari 114 MW yang direncanakan. Untuk itu, kepada seluruh rakyat Indonesia dirasa perlu melakukan penolakan terhadap pembangunan bendungan-bendungan skala besar dan SUTET di Indonesia.

1 komentar:

  1. Datuk majosati, besar harapan kami utk dpt memberi informasi lebih banyak sbb kami sangat mengharapkan sbg studi dlm berkarya utk negeri. Terimakasih

    BalasHapus