Baduy

Baduy
suku baduy dalam, Banten

Sabtu, 05 Desember 2009

Dampak PLTA koto panjang


Dampak Keganasan Pembangunan DAM PLTA Koto panjang
Oleh: Syofian Dt.majosati

Proses pembangunan PLTA Koto Panjang yang terletak di Provinsi Riau dan dan Sumatera Barat, diawali dengan project finding oleh perusahaan konsultan dari Jepang TEPSCO (Tokio Electric Power Service Co. Ltd) bulan September dan November 1989. Untuk pembangunan fisik proyek, mulai dilakukan tahun 1991 dan diresmikan pada tanggal 28 Februari 1997. Dam PLTA Koto Panjang yang memotong aliran Sungai Kampar Kanan dan menggenangi areal seluas 124 km2, dibangun untuk menghasilkan listrik dengan kapasitas sebesar 114 MW melalui 3 unit turbin. Proyek ini dibiayai dengan dana dalam bentuk hutang sebesar 31,177 Miliar Yen dari OECF (Overseas Economic Development Fund) Jepang.
Untuk Kepentingan pembangunan PLTA Koto Panjang ini, 10 desa harus ditenggelamkan dan 4.886 kepala keluarga terusir dari desa mereka untuk pindah ketempat pemukiman baru yang kondisinya sangat buruk dan hanya menjanjikan penderitaan.
Proyek ini jelas dilihat sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan, karena dalam prosesnya telah mengesampingkan hak rakyat untuk hidup didesa yang sudah ditempati sejak ratusan tahun yang lalu, dan kebudayaan yang sudah dianut sejak dari nenek moyang mereka.
Proyek PLTA Koto Panjang yang dibangun dibawah ancaman, intimidasi, penangkapan terhadap rakyat yang tidak setuju dengan proyek ini, dilakukan oleh pemerintah Indonesia, rekayasa dan bujuk rayu. Pemerintah menjanjikan bahwa setiap harta dan tanaman masyarakat yang terkena proyek akan diganti; disediakan lahan usaha I dan II yang akan menjadi basis ekonomi di pemukiman baru ; rumah semi permanen siap huni dengan fasilitas air bersih serta listrik gratis selama setahun. Jelasnya Proyek PLTA tidak akan menyengsarakan rakyat 10 des, bahkan akan meningkatlkan kualitas hidup mereka.
Cara ini dilakukan pemerintah untuk memudahkan dapatnya persetujuan kerelaan pindah, kesepakatan besarnya ganti rugi dari masyarakat yang menjadi prasyarat proyek oleh pihak OECF. Dengan cara-cara yang demikian pemerintah Indonesia berhasil menyakinkan Jepang, Sehingga pada tanggal 13 Desember 1990 ditanda tangani kesepakatan proyek PLTA Koto Panjang. (Kotopanjang Hydroelectric Power and Assosiated Transmision Line Project antara pemerintah Indonesia dan Jepang.
Meskipun secara sepihak, pemerintah mengklaim tidak ada masalah dan rakyat 10 desa sudah sangat setuju, pada bulan September 1991 masyarakat Kec. XIII Kotokampar Riau melakukan aksi protes ke DPR RI, Kedubes Jepang, Depdagri dan Kantor Perwakilan OECF di Jakarta. Isunya adalah soal ganti rugi yang tidak layak (dan ditetapkan secara sepihak) terhadap rumah, tanah dan tanaman masyarakat yang akan ditengelamkan.
Namun hal ini belum mampu merubah keinginan pemerintah Indonesia untuk tetap membangun Dam berskala besar tersebut.
Pada tahun 1993, masyarakat mulai dipaksa pindah ke pemukiman baru. Dipemukiman baru yang ditemui sangat jauh dengan apa yang dijanjikan oleh pihak pemerintah ketika masih dikampung lama. Rumah yang akan ditempatai sangat jauh dari layak huni. Rumah yang akan ditempati sangat jauh dari layak huni, berlumpur dan listrik tidak ada. Masyarakat harus bekerja keras untuk membersihkan rumah jatah tersebut untuk dapat ditempati, semetara itu, sumber-sumber ekonomi mereka dikampung lama sudah tenggelam. Rakyat terpaksa memecah batu dan menjadi buruh tani.
Gambaran yang diberikan kepada rakyat oleh pemerintah Indonesia, proyek PLTA Koto Panjang akan meningkatkan kualitas hidup masayarakat dilokasi baru. Kenyataannya, dilokasi pemukiman, masyarakat korban DAM PLTA Koto Panjangh sunguh sangat menderita. Bahkan secara tegas rakyat dari 10 desa menyatakan bahwa kehidupan saat dikampung lama jauh lebih baik dibandingkan sekarang ini. Dikampung lama kami tidak pernah merasakan kesulitan air bersih dan ekonomi harian sebagaimana yang kini dialami.
Masyarakat yang 10 desanya telah ditenggelamkan untuk pembuatan waduk PLTA Koto Panajang, menyatakan merasa ditipu oleh pemerintah Indonesia.
Berbagai cara dilakukan masyarakat untuk menuntut haknya yang dikesampingkan serta persoalan yang ditimbulkan akibat pembangunan PLTA Koto Panjang. Tuntutan melalui jalur hukum telah pula dilalui, dan tetap saja dikalahkan. Bentuk lain yang terus dilakukan, adalah dengan mengkampanyekan isu PLTA Koto Panajng untuk mendapatkan solidaritas. Bahkan kampanye langsung ke Jepang sudah dilakukan tanggal 19 Juli-1 Agustus 2001. Dari kampanye di Jepang, masyarakat Jepang ikut bersolidaritas dengan dideklarasikanberdirinya Badan Pendukung Rakyat Korban Dam Koto Panjang Jepang pada 7 Desember 2001. Ditingkat rakyat korban, sekarang ini, rakyat korban 10 desa sedang berupaya melakukan konsolidasi, mengorganisir diri dan juga telah mendeklarasikan berdirinya Badan Perjuangan Korban Dam Koto Panjang (BP RKDKP) pada tanggal 7 November 2001 sebagai wadah perjuangan bersama.
Proyek PLTA Koto Panjang, secara substansif sebenarnya merupakan pembunuhan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan dijalankan dengan penuh penyelewengan serta menjadi sarang korupsi. Setelah 5 tahun ( 28 Februari 1997 ) beroperasi dan sampai sekarang hanya mampu memproduksi energi listrik sebesar 17 MW, sementara itu penderitaan rakyat yang diusir dari kampung halamanya untuk kepentingan proyek ini terus berlangsung. Dan semakin parah.
Maka dari pada itu, masyarakat yang telah dikesampingkan sehubungan dengan telah dibangunnya PLTA Koto Panjang akan terus dilakukan, dengan menuntut :


1. Pemerintah Indonesia dan Jepang harus bertanggung jawab atas kesengsaraan rakyat
10 desa
2. Pemerintah Indonesia dan Jepang melakukan pemulihan ekonomi rakyat dan perbaikan
infrastruktur pemukiman baru
3. Pembatalan pembayaran hutang pembangunan DAM Koto Panjang karena dala tersebut
disalah gunakan (dikorup) dan menyesengsarakan rakyat korban.

LAPORAN PENELITIAN LAPANGAN DI RIMBO DATA
Oleh Tim Hukum Agraria/Ulayat (Kurnia Warman)
Indentifikasi dan Perumusan Masalah

1. Permasalahan tanah ulayat telah terjadi sejak awal ressettelment penduduk pada dua kenagarian tersebut (Tanjung Balit dan Tanjung Pauh). Menurut Hukum Adatnya, lokasi pemukiman yang ditempati oleh masyarakat Tj. Pauh sekarang, adalah termasuk tanah ulayat Nagari TJ. Balit. Masyarakat Tj. Balit tampaknya ingin menuntut kembali tanah ulayatnya. Permaslahan ini belum pernah didudukkan sampai sekarang, sehingga terdapat potensi konplik batas antara dua nagari tersebut. Apalagi dengan adanya rencana pembangunan Tambang Timah Hitam di daerah Marang, yang secara geografis lebih dekat dengan Nagari Tj. Pauh. Kedua nagari saling mengkalim daerah tersebut. Konplik batas ini, bahkan juga terjadi antara Sumatera Barat dan Riau.
2. Tanah ulayat merupakan salah satu syarat adanya suatu nagari, sedangkan di kedua nagari tersebur sampai sekarang tidak ada lagi tanah ulayat. Kalaupun ada, batas-batasnya tidak jelas. Kebun karet seluas 2 Ha yang diberikan kepada masyarakat itu bukanlah tanah ulayat, tetapi tanah milik masing-masing kepala keluarga (KK). Padahal dahulu, waktu mereka masih tinggal di daerah genangan sekarang, masing-masing nagari mempunyai tanah ulayat.
3. Masalah yang berkaitan dengan ganti rugi (GR) lebih banyak terjadi di Tj. Pauh bila dibandingkan dengan Tj. Balit, karena:
a. Nagari Tj. Balit semuanya merupakan daerah genangan, sedangkan Nagari Tj. Pauh, sebagian daerah yang diganti rugi juga merupakan daerah terisolir. Permasalahan GR yang masih ada, pada umumnya adalah tanah dan tanaman penduduk yang terisolir.
b. Masyarakat Tj. Pauh yang masih belum menerima GR sebagaimana mestinya lebih kompak dan berani “melawan” pemerintah untuk memperjuangkan nasib mereka.
c. Ninik mamak dan Wali Nagari Tj. Balik tampaknya cenderung menekan dan bahkan mengancam anggota masyarakatnya yang masih mempermasalahkan GR. Sedangkan di Tj. Pauh, ninik mamaknya tidak mampu membendung keinginan masyarakat untuk menuntut, apalagi perjuangan mereka didukung sepenuhnya didukung oleh Wali Nagari setempat. Sehingga 67 KK dari 181 KK yang belum menerima GR sebagaimana mestinya menempuh jalur hukum melalui pengajuan gugatan ke Pengadilan.
4. Timbulnya permasalahan GR juga dipicu oleh ketidakadilan/ ketidaktransparan pihak Panitia Pembebasan Tanah (Panitia) yang diketuai oleh Bupati pada waktu itu, antara lain:
a. Penyerahan GR yang seharusnya diserahkan langsung oleh PLN kepada masyarakat (masing-masing KK) dengan disaksikan oleh Panitia, dalam pelaksanaannya GR tersebut malah diserahkan oleh Panitia. Jadi PLN tidak tahu persis berapa jumlah GR yang diterima oleh masing-masing KK dan apakah dana yang sudah dibayar lunas tersebut betul-betul sampai seluruhnya kepada masyarakat atau tidak.
b. Inventarisasi tanah, bangunan dan tanaman serta penentuan kelas tanahnya (tipe A, B atau C dsb.) tidak transparan. Masyarakat hanya diminta langsung menandatangani hasilnya dan menerima GR. Ada kecenderungan panitia melaporkan tipe tanahnya A sementara GR yang diserahkan kepada masyarakat hanya kelas B.
c. Banyak terjadi praktik KKN dalam penetuan dan pemberian GR serta penyediaan pasilitas di pemukiman baru. Anggota masyarakat yang dekat dengan panitia (terutama Kepala Desa, unsur KAN (ninim mamak), kedua nagari serta Camat) mendapat GR dan Pasilitas yang lebih daripada anggota masyarakat lainnya. Bahkan, terdapat di Tj. Balit sebagian anggota masyarakat yang mendapatkan rumah dan tanah tanpa melalui pengundian. Mereka bisa memilih rumah yang berada di tempat yang mereka inginkan, seperti di pinggir jalan raya. Ada pula beberapa rumah yang merupakan jatah orang Pemda (Camat dan jajarannya).
Hal di atas mengakibatkan kecurigaan dan kebencian masyarakat terhadap pemerintah semakin besar.
5. Di samping permasalahan GR, masyarakat juga menuntut (menagih) janji-janji Pemda (Bupati) pada saat memberikan penyuluhan dan meminta kesediaan masyarakat untuk meninggalkan tempat tinggalnya. Padahal, janji-janji tersebut adalah di luar tanggungjawab PLN. PLN hanya bertanggungjawab atas biaya pembebasan tanah (termasuk bangunan dan tanaman) untuk daerah genangan waduk sampai elevasi 8500 m DPL. Jadi, janji-janji Pemda (Bupati) kepada masyarakat berupa; pasilitas rumah, jalan desa, air bersih, listrik desa dan lahan kebun karet 2 Ha per KK merupakan tanggungjawab Pemda memalui APBD dan APBN (Surat Sekwilda Sumbar kepada Bupati 50 Kota, No: 593/5560/Tapum-99, 30 April 1999).
6. Dapak dari GR dan janji-janji Pemda yang belum tuntas tersebut adalah sangat luas:
a. Semakin meluasnya/bertambahnya jumlah KK yang akan menuntut GR, sehingga permasalahannya semakin rumit.
b. Yang lebih membahayakan lagi adalah timbulnya keinginan masyarakat baik yang termasuk Sumbar mapun Riau untuk bersama-sama merusak atau menjebol bendungan waduk dan pasilitas PLN lainnya di Pikitring Sumbar Riau tersebut.
c. Masalah GR juga sangat berpengaruh terhadap bidang-bidang lain, karena kalau GR ini tidak tuntas maka partisipasi masyarakat sangat sulit bisa diharapkan dalam mendukung setiap program pembangunan. Bahkan sebaliknya, masyarakat justru mungkin akan menghalanginya.
7. Karena tidak menjanjikan maka masyarakat, terutama yang mendapat GR tipe A, sekarang banyak yang menjual tanah dan rumahnya kepada orang lain. Mereka pindah dan berusaha di daerah lain, seperti ke Riau dan lain-lain.
8. Karena persoalan GR dan pasilitas yang dijanjikan itu tidak tuntas, maka sekarang masyarakat selalu merindukan kondisi kehidupan mereka yang tenang dan sejahtera waktu di lokasi genangan dulu.
9. Karena lokasi pemukiman baru tersebut dahulunya merupakan hutan primer yang ditumbuhi oleh kayu-kayu besar, maka masyarakat sejak awal juga telah mengetahui bahwa kalau dihitung hasil penjualan kayu yang tumbuh di tanah ulayat mereka itu, akan melebihi jumlah GR yang diterima masyarakat. Jadi sebetulnya, menurut masyarakat, apa yang mereka dapat sekarang belum berimbang dengan pengorbanan hak yang mereka berikan kepada pemerintah.

PLTA Koto Panjang, Proyek Siluman


Pembangunan PLTA Kotopanjang adalah bentuk penjajahan gaya baru JEPANG kepada INDONESIA. Kebutuhan energi listrrik dan potensi alam yang mendukung menjadi alasan utama jeratan utang bangsa Jepang kepada Indonesia sebesar 31,177 milyar yen, utang haram pembawa bencana yang tak pernah diinginkan masyarakat 10 desa.

Tahun 1979, TEPSCO (Tokyo Electric Power Servis Co.ltd) melakukan project finding di Sumatera. Dari hasil survey TEPSCO mengusulkan kepada pemerintah Indonesia agar membangun bendungan skala besar untuk PLTA, yakni dengan memanfaatkan pertemuan antara Sungai Kampar Kanan dengan Batang (baca: sungai) Mahat.

Kemudian JICA (Japan International Cooperation Agency) mulai melakukan Studi Kelayakan Teknis dan Ekonomi pada tahun 1983 yang kemudian dilanjutkan dengan Studi Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) bendungan Kotopanjang pada tahun 1984 oleh Universitas Andalas dan pada 1988 dilakukan Studi Penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dilaksanakan oleh konsultan TEPSCO yang bekerjasama dengan Pusat Penelitian Universitas Riau. Setelah itu, dimulailah pembangunan fisik proyek pada tahun 1993 dan diresmikan pada tahun 28 Februari 1997.

Pembangunan PLTA Kotopanjang yang akan menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya memang sudah terpikirkan oleh pemerintah Indonesia. Untuk meminimalisir dampak–dampak negatif tersebut, maka pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang sebagai negara yang memberikan Pinjaman untuk pembangunan menyepakati beberapa hal. Pertama, Gajah, Harimau, Tapir, dan satwa yang dilindungi lainnya, yang bermukim di lokasi harus diselamatkan dengan memindahkannya ke tempat perlindungan yang cocok. Kedua, tingkat kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak dari proyek PLTA Kotopanjang harus menjadi lebih baik dari kehidupan di tempat lama. Ketiga, persetujuan pemindahan bagi yang terkena dampak proyek adalah tanpa paksa dan prosesnya harus dilakukan secara adil dan merata. Namun, hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, bahkan tindak kekerasan TNI AD kental sekali selama proses pemindahan masyarakat.

Dampak lain yang harus diterima sebagai konsekuensi pembangunan sebuah Dam berskala besar adalah jalan negara sepanjang 25,3 km dan jalan propinsi sepanjang 27,2 km harus ditenggelamkan begitu juga dengan 2.6444 rumah, 8.989 ha sawah.

Secara geografis, desa-desa yang terkena dampak dari pembangunan Dam Kotopanjang ada 10 desa. Delapan di antaranya berada di propinsi Riau, Kabupaten Kampar, Kecamatan XIII Koto Kampar, sedangkan yang dua lagi berada di propinsi Sumatera Barat. Akibat adanya proses otonomi daerah, delapan desa yang ada di propinsi Riau tersebut mengalami pemekaran sehingga sekarang menjadi tiga belas desa.

Sepuluh desa tersebut mengalami pemindahan ke lokasi baru yang terdapat di sekitar kawasan Dam Kotopanjang dengan perjanjian masyarakat akan disediakan rumah semi permanen lengkap dengan fasilitas air bersih, kebun karet siap panen masing-masing kepala keluarga 2 hektar, ladang untuk palawija seperempat hektar, listrik, sarana dan prasarana umum lainnya, seperti rumah ibadah, jalan, jembatan, dan jaminan hidup selama dua tahun.

Namun, semuanya itu tidak dilaksanakan pemerintah sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian pemindahan. Masyarakat hanya menerima rumah kayu selebar 6m X 5m dengan atap Asbes, tidak ada listrik, tidak ada fasilitas air bersih, kebun karet belum tersedia sarana dan prasarana umum, seperti jalan hanya sebagian kecil yang diaspal, jembatan tidak dibangun untuk Desa Balung. Masjid yang dibangun salah kiblat sedangkan lahan pertanian yang tersedia tidak subur dan berbatu.

Hal ini mendapat reaksi perlawanan dari masyarakat, namun masyarakat tidak bisa berbuat banyak untuk merubah kondisi ini dikarenakan pemerintah menolak bertanggung jawab. Kondisi di atas mengakibatkan Desa Balung dan Desa Pongkai Baru menjadi terisolir, karena tidak ada akses transportasi ditambah lagi letak desa yang jauh dan tertutup.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, akibat tidak ada alternatif mata pencaharian lain, sebagian besar masyarakat melakukan kegiatan pembalakan haram di kawasan resapan air Dam Kotopanjang, sebagian lagi memilih menjadi buruh kebun di daerah lain.

Pembalakan haram bukan saja dilakukan oleh masyarakat setempat, pihak luar pun melakukan hal yang sama dan dibiayai oleh cukong-cukong kayu. Kondisi ini sangat mengancam fungsi ekologis kawasan yang salah satunya diharapkan mampu menjadi pengendali banjir.

Ketidaksejahteraan masyarakat setelah dipindahkan, membawa perubahan dalam kehidupan sosial-budaya. Mereka yang dulu memegang teguh adat istiadat, mempunyai sifat sosial yang tinggi, namun sekarang menjadi masyarakat yang sangat individualis dan tidak berbudaya.

Banyak anak–anak yang tidak bersekolah dan harus bekerja membantu orang tua, baik untuk mencari kayu maupun menjadi buruh kebun. Bagi sebagian orang tua yang mempunyai anak perempuan terpaksa menikahkan anaknya dalam kondisi di bawah umur dengan tujuan mengurangi beban hidup dan hal ini terjadi di desa Pongkai Baru.

Satwa liar yang dilindungi, seperti gajah dan harimau, sering masuk ke desa–desa, karena tidak ada proses pemindahan satwa tersebut pada saat pembangunan Dam Kotopanjang dan terganggunya habitat satwa tersebut akibat kerusakan fungsi ekologis kawasan Dam Kotopanjang. Sampai saat ini, hampir tidak ada perhatian yang diberikan pemerintah untuk membuat kondisi menjadi lebih baik.

Bahkan, setelah 8 tahun beroperasi, PLTA Kotopanjang hanya mampu mengoperasikan satu buah turbin dengan produksi energi listrik maksimal hanya sebesar 23 MW dari 114 MW yang direncanakan. Untuk itu, kepada seluruh rakyat Indonesia dirasa perlu melakukan penolakan terhadap pembangunan bendungan-bendungan skala besar dan SUTET di Indonesia.